Monday, September 23, 2013

Rasa Yang Tak Terwakilkan

Bila saja sanggup kata-kata mewakilkan arti hadirmu dalam hidupku.
Betapa kau mampu terangi lorong-lorong yang dulu gelap dalam labirin perjalananku
Betapa dengan mudah kini gunung kudaki, mengetahui kau sedang setia menanti

Bila saja megah semesta dapat mewakilkan arti hadirmu dalam hidupku.
Untuk menggambarkan betapa jernihnya kini langit yang selimuti bumiku dengan adanya kamu
Untuk melukiskan pelangi dan ribuan bintang penghias latarku,
mewakilkan tiap doa dan harapan yang kupanjatkan untukmu

Bila saja waktu dapat berjalan lebih lambat ketika kita sedang bersama memadu cinta.
Hingga mampu kusejukkan siangmu
Dan mampu kuhangatkan malammu selalu
Mampu kutunjukkan dalam tiap detik,
betapa kau berharga untukku..

Bila saja kau tahu
dna bila saja ku mampu.
Buatmu benar-benar mengerti, seperti apa rasa di dalam hatiku ini..


(Bandung, 09 Agustus 2013)

Thursday, May 30, 2013

Doa Dalam Hujan

Surya telah terbenam di balik megah Borobudur.
Perlahan rintik hujan jatuh beraturan membasahi pelataran
membanjiri altar megah yang telah lama dipersiapkan untuk pemanjatan doa.
Namun para umat tetap khusyuk beribadah
menyampaikan ribuan cerita dan harapan kepada sang hyang Buddha.

Puluhan ribu pengunjung tak sabar menanti,
menanti api harapan di terbangkan bersamaan, yang akan menerangi langit malam itu.
Banyak dari mereka yang akhirnya mengutuk hujan,
mengutuk penyebab gagalnya perayaan pelepas api harapan.
Tapi sepasang insan tetap setia menanti, duduk merenung di bawah hujan
Bergandengan tangan, menikmati malam
Mereka memanjatkan doa, menyampaikan kisah mereka pada Yang Kuasa.
Berharap didengar, berharap terkabulkan doanya

Si perempuan menoleh ke pasangannya,
yang memegangnya erat menjaganya dari dingin angin malam
Si perempuan lalu berkata, "Mereka bilang malam ini tak akan ada api harapan yang akan terbang menyampaikan doa, tak ada cahaya lampion yang hiasi gelap langit. Tapi untukku, malam ini telah begitu cerah karena hadirmu disini, menemani. Tak inginkah kau tahu isi doaku?"
Si lelaki lalu menatap lekat wajah perempuan yang dikasihinya itu
ia tersenyum kecil melihatnya,
wanita bertubuh mungil yang gemetaran akibat bermandikan air hujan.
Ia berkata kepadanya, "Tak perlu kau katakan. Aku hanya berharap doaku di Malam Natal yang lalu sama seperti harapan yang kau panjatkan malam ini. Dan aku berharap, aku masih menggenggam tanganmu di Malam Natal berikutnya, dan mungkin tetap berdampingan dibawah hujan di Waisak berikutnya"

Mereka lalu berdekapan. Saling menghangatkan di tengah ramai lalu lalang pengunjung yang kecewa.
Namun damai memenuhi hati mereka, dan kasih senantiasa menyinari malam gelap Waisak di Borobudur.
Sambil masih bergandengan tangan, mereka pun turuni candi
meyakini dalam hati, tak peduli meski mereka berdua beribadah dengan cara berbeda dan tak mengagungkan nama Tuhan yang sama,
mereka telah ditakdirkan untuk berdoa berdampingan,
saling menemani,
dan tetap larut dalam satu cinta..


(Jogja, 26 Mei 2013)

Purnama Jogja

Kali ini jarak memang cukup jauh memisahkan
Kali ini sesekali sepi menghampiri meski banyak kawan menemani.
Sepi, karena dirimu tak disisi untuk berbagi tawa
Sepi, karena tak ada genggaman tanganmu yang senantiasa melindungi
Sepi, karena semilir angin pun diam-diam menghantar rindu darimu..
Tapi langit malam ini adalah penawarnya
penawar atas semua sepi
penawar dari rindu di hati.
Langit, yang dengan angkuhnya memamerkan anggun purnama
Langit malam yang cerah sempurna, membiarkan bintang berkelipan iringi silau rembulan.

Dan cukup untukku saat ini,
untuk mengetahui kita masih tetap menikmati purnama yang sama.
Purnama yang menenangkan hati,
ditengah riuh gerombolan turis yang menyambangi alun-alun Jogja malam ini..
Cukup untukku malam ini,
mengetahui kita masih saling merindu saat jarak memisahkan.
Dan tak bosan kupandangi sempurna purnama Jogja malam ini,
purnama yang sesekali memantulkan bayang wajahmu...

(Alun-alun Kidul Jogja, 24 Mei 2013)

Tuesday, May 21, 2013

Penantian Di Simpang Dago

Dipinggir jalan itu ku duduk menunggu
Di jalan, di persimpangan Dago.
Menunggu kemunculan lelaki berjenggot tipis, yang akan datang memenuhi janji.
Kupasang mataku ke setiap sudut jalan,
tak sabar menunggu kemunculannya.
Si lelaki berjenggot tipis dengan kemeja bututnya.
Hujan mengiringi penantianku senja ini,
menyembunyikan sinar malu-malu matahari yang beranjak pergi.

Langit mulai gelap,
namun di salah satu sudut jalan itu semua terlihat begitu terang.
Di sudut jalan itu di persimpangan Dago,
si lelaki berjenggot tipis itu muncul...
muncul menepati janjinya.


(Dago, 18 Desember 2012)

Friday, May 17, 2013

Yang Tak Bernama


Kita memang sepasang kekasih.
Tapi kita tidak 'pacaran', seperti banyak tebakan orang. Kita menolak untuk dibilang 'pacaran'  sebuah status yang dibuat masyarakat untuk sepasang insan manusia yang saling menyayangi dan memutuskan untuk saling berbagi.
Memang, nyatanya kita sedang saling berbagi...berbagi sedikit demi sedikit waktu yang ada di hidup kita, berbagi kisah dan menjalin cerita bersama, berjalan berdampingan, walau dalam jalur yang berbeda.
Ya, kita memang sepasang kekasih..

Kenapa kita begitu keras menolak dikatakan 'pacaran'?
Kamu dengan alasanmu, aku dengan alasanku.
Aku yang ingin belajar memberi, tanpa sedikitpun meminta.
Bahkan, tanpa sedikitpun berharap.
Aku yang sedang mempelajari, apa sesungguhnya 'cinta tanpa karena''Pacar' ku atau bukan, ketika aku mencintamu, aku tak butuh alasan.. dan aku tak butuh alasan juga untuk tetap mencintamu dan mencurahkan segala kasih sayang ini.
Aku tak butuh alasan. Dan tak ingin pula alasan itu muncul tanpa disengaja.
Karena menurut pengalamanku yang 'berpacaran' bertahun-tahun sebelum kita bersama, status 'pacar' itu justru memunculkan terlalu banyak alasan untuk memberi, dan mengharapkan timbal-balik.
Aku tak mau seperti itu (lagi)..
Aku mau tulus menyayangimu, tak peduli status kita, bahkan aku akan tetap menyayangimu meski kamu anggap aku tak ada.

Dan kamu tak ingin terikat. Sama seperti aku yang tak mau diikat.
Kita tak ingin diatur bagaimana cara kita saling menyayangi.
Ada yang bilang kita ini takut komitmen.. tapi mereka tidak tahu, kita pun saat ini masing-masing sedang menjalani sebuah komitmen.
Kamu dengan komitmenmu dengan rasamu,
dan aku dengan komitmenku dengan rasaku..
Kita akhirnya saling mengikat dengan satu yang begitu kita senangi, kebebasan.

Aku bebas menyayangimu dengan caraku.
Kamu pun bebas menyayangiku dengan caramu.
Berjalan ke arah yang sama, akhirnya kita sepakat untuk berjalan berdampingan, meski kita tetap berada di jalur yang berbeda.
Dan meski kita tak tahu dimana persimpangan yang akan memisahkan kita..

Kita memang sepasang kekasih. Kita adalah life partner. Pasangan hidup. Karena saat ini, detik ini di hidupku, kamu menemaniku. Dan saat ini, detik ini, aku pun mengisi hidupmu.
Tapi kita tidak 'pacaran'. Kita menolak disebut 'pacaran'.

Lalu apa namanya hubungan ini?
Ah, menurutku manusia belum sanggup berikan hubungan ini nama...apa perlunya pula sebuah nama?
Toh kita menikmati menjalaninya.
Toh kita tetap saling mencinta.
Dan toh, kesepakatan itu tetap kekal detik ini...

(Bandung, 17 Mei 2013)

Friday, May 3, 2013

Noda Samar Dalam Cahayaku

Hitam di langit pagiku tak perlu kau tahu sebabnya.
Malah, ku usahakan agar kau tak perlu melihatnya sama sekali..
kau tak perlu tahu ia bahkan ada.
Cukup kau lihat, indah sinar mentariku.

Bukan ku tak mau berbagi warnaku padamu, bukan ku tak percaya kau akan mengerti.
Aku hanya ingin kau tak ingkari hangatnya mentari pagi
Aku hanya ingin kau selalu dapat nikmati indah biru langitku
Indah dan tentramnya duniaku, yang mungkin akan hapuskan gelap duniamu.

Jadi tak perlu kau tahu, noda yang mengotori cantiknya alamku.
Karena tugasku, inginku, butuhku, adalah untuk indahkan duniamu selalu
bahkan ketika tak ada setitikpun warna tersisa didalamnya...

(Bandung, 1 May 2013)

Manusia dan Pikirannya

Aku ini manusia
manusia berakal sehat dan memiliki pikiran.
Pikiran yang bebas, yang berlayar tanpa batas, sesukanya.
Aku ini bebas.
Kalau aku tak bebas, kenapa akal ini kumiliki untuk jalani hidup?
Kalau nyatanya aku terikat pada sebuah pasak, kenapa aku harus belajar berjalan?
Hanya untuk mencapai tujuan tertentu yang makhluk lain inginkan untukku?
Sampah.
Kalau begitu aku ini seperti sampah. Diletakkan disana-sini untuk akhirnya berakhir di pembuangan yang orang tuju.
Hanya bisa diam, tak bisa menolak.
Jika memang begitu, kenapa aku tidak usah diberi kehidupan saja sekalian?
Hidup tapi penuh harapan palsu,
diarahkan sesuka yang makhluk itu mau.
Tapi aku tak sebodoh itu..
Kan sudah kubilang, aku ini manusia?
Manusia yang berakal pikiran nan bebas.
Coba saja kalau kau mau mengikatku,
aku pun mau tahu,
seberapa lama rantai dambaanmu itu mampu menahanku.

(Bandung, 01 May 2013)

Karena Kekekalan Hanya Milik Detik Ini

Semakin hari, semakin banyak yang saya alami, semakin banyak yang saya pelajari, saya mulai memahami betapa di dunia ini tiada yang pasti. Mungkin beberapa penganut agama atau kepercayaan apapun yang kuat akan membantahnya, dan mengatakan bahwa beberapa hal telah dengan pasti tertulis oleh Tuhan dalam suratan hidup manusia, dan pasti terjadi. Disini saya tidak akan menyalahkan pendapat orang lain dan membenarkan pendapat saya, saya hanya ingin mengatakan, tidak demikian yang saya percayai...

Hari demi hari, saya sedikit demi sedikit belajar untuk semakin menghargai waktu. Saya belajar untuk menjalani hidup saya sebaik mungkin, seakan tidak ada esok hari. Bukan berarti saya lalu boleh sesuka hati melakukan yang saya mau tanpa memperdulikan orang - orang di sekitar saya terutama orang - orang yang saya sayangi, tapi justru saya harus belajar lebih menghargai mereka, menyayangi mereka segenap hati, menjaga mereka, dan selalu berusaha membagi kasih sayang saya agar mereka tahu betapa mereka sangat disayangi. Karena belum tentu ada esok hari, yang akan mempersilahkan saya melakukan apa yang belum sempat atau belum mau saya lakukan hari ini.

Tak ada jaminan akan esok hari tiba untuk saya, atau orang - orang yang saya sayangi. Tak ada jaminan pula rasa sayang saya untuk mereka ini masih bersisa esok nanti. Jadi sebelum waktu mengkhianati, sebelum rasa hilang tak berbekas di hati, saya ingin mencurahkan segalanya saat ini, detik ini. Detik yang kusebut kekal ini. Ini mungkin keegoisan terbesar saya..

Begitu banyak hal yang sangat indah yang terjadi setiap harinya di dalam hidup saya. Kecil, besar, bukan sesuatu yang penting. Bila itu indah, ya tetap indah. Memang, terkadang saking indahnya, saya seakan tidak mau melepaskan hal tersebut.. saya ingin terus mengalaminya, menjalaninya, hanyut di dalamnya. Lalu saya teringat, hanyut dalam kenangan? Berarti saya tak punya pegangan? Bagaimana kalau nanti saya lelah terapung-apung dalam kenangan yang telah lalu, kemana saya harus menyelamatkan diri? Saya pun masih sering menyadarkan diri, berteriak dalam kepala yang semrawut ini, "Hey, jangan larut pada apa yang pasti lalu! Bahkan yang saat ini merupakan yang terindah, belum tentu akan selamanya menjadi yang paling. Akan ada satu titik dimana mau tak mau predikat itu harus kau lepas! Yah, kecuali kau mati di detik berikutnya.."

Ya, yang saat ini adalah yang 'ter-' belum tentu akan menjadi yang 'ter-' lagi di hari berikutnya, jam berikutnya, bahkan mungkin detik berikutnya. Kenangan, memang abadi, disaat ia sedang terjadi, di detik yang kusebut kekal ini. Tapi... detik berikutnya akan tiba. Menit pun berlalu. Dan kenangan akan menjadi kenangan.

Dari berbagai hal yang saya ocehkan sesuka hati diatas, saya hanya berusaha mengambil kesimpulan, lakukan apa yang kamu mau dan bisa lakukan hari ini, saat ini, jangan sampai menyesal di keesokan hari yang bahkan belum tentu datang. Dan tiap kenangan, tiap kejadian, baik indah maupun buruknya, nikmatilah. Karena tanpa ada yang buruk itu, kita tak akan tahu rasanya indah. Dan tanpa ada yang indah, kita tak akan tahu ada cahaya di setiap ujung lorong. Hargai tiap moment, karena mereka hanya kekal ketika terjadinya. Hargai yang telah menjadi kenangan, karena mereka telah menuntun kita untuk berada di tempat kita sekarang...

Tuesday, April 16, 2013

Kencan Mentari dan Langit

Sore hari ketika langit berkencan dengan matahari,
bercengkrama mencipta kecerahan yang menyelimuti bumi
Dedaunan kuning menari-nari riang mengiringi desiran sejuk angin yang lewat sesekali.
Hamparan putih awan layak berkejaran kesana kemari
menikmati kesempatan memiliki langit biru yang jarang terlihat belakangan ini,
memiliki langit biru sebagai latar untuk dihiasi.

Semakin erat langit bercengkrama dengan mentari
memancarkan sinar yang kadang begitu terik, yang dikulit terasa menyelekit.
Tercium sekelibat harum buah persik,
terdengar pula dentingan pisau dan garpu yang berisik.
Lalu langit mulai gelap.. dan turun hujan rintik
Menandakan akhir kencan matahari dan langit.
Setidaknya untuk sore ini…

(Dago, 2 Januari 2013)

Wednesday, March 13, 2013

Malaikat Bersayap Patah

Langit tetiba kelabu, mengiringi kesedihan malaikat
sang malaikat bersayap patah.
Sayap megahnya yang biasa menyelimuti bumi dengan cerah warnanya
yang biasa menghangatkan bumi dengan kilaunya.
Kini sayap itu patah, meninggalkan bumi gelap gulita..

Dan manusia tertinggal dalam gelap yang mencekam, dalam dingin yang menusuk.
Mereka bertanya pada tuhan mereka,
"akankah Kau biarkan kami sendiri dalam gelap ini? Kan kau biarkankah kami mati karena dingin ini?"
Tuhan lalu menjawab,
"Tak hanya satu malaikat kucipta, walau hanya satu yang nantinya abadi mengiringi dunia. Bila kini hanya gelap dan dingin tersisa, toh nantinya kau akan lebih menghargai malaikat yang datang selanjutnya"

Manusia pun girang menunggu
menunggu hangat dan terang dari malaikat lainnya, malaikat dengan sayap megah yg utuh..
Yang sanggup mengiringi mereka hingga akhir dunia.
Dan disitu, di pojok semesta itu, terduduk malaikat bersayap patah.
Yang dilupakan oleh dunia karena tak lagi sanggup bersinar,
yang bahkan diabaikan oleh tuhannya
yang menciptanya dengan sayap yang lemah.
Disitu ia duduk,
berharap seorang saja akan menghampiri, dan mengajaknya bicara..

(Bandung, 13 Maret 2013)

Thursday, January 10, 2013

Dandelion, Si Gadis Berambut Pirang

Dandelion.
Si gadis berambut pirang berwajah riang
Terbang melayang mengejar angin
mencari kasihnya yang hilang
Tersesat di tengah hutan pinus yang lebat dan gelap
Tenggelam tersapu deburan ombak
Hanyut terbawa aliran sungai yang deras.

Dandelion.
Si gadis berambut pirang, yang kini tak lagi riang
Tak mampu berdiri menapakkan kaki, hanya mampu membiarkan angin menerbangkannya tinggi
Tinggi, sangat tinggi...
menanti saat angin lelah dan menghempaskannya jatuh ke bumi.

Dandelion,
terjebak di langit luas
berharap menemukan kasihnya yang akan menangkapnya
kapanpun angin menghempaskannya.

Dandelion,
simbol cinta penuh harapan..


(18 Oktober 2012)