Saturday, August 31, 2019

Fase Biru: Pandangan dari Balik Jendela

Dari balik jendela ku memandang
pemandangan yan paling memukau yang pernah kutemui
Terpana ku oleh sinarnya
tercengang oleh keindahanya
Begitu mempesona, begitu menyilaukan,
begitu sempurnanya.

Namun tak berani ku menghampiri
berat kaki ini melangkah ke arahnya
Takut ku nodai warnanya,
takut bayangku kan gelapkan cahayanya

Tapi sungguh hati ingin berlari kesana
mendekap erat di pelukannya
tenggelam didalam kehangatannya.

Mungkinkah ku harus beranikan diri
demi sesekali merasakan kehangatan
ditengah dinginnya dunia ini?
Mungkinkah ku harus korbankan ia
demi sedikit bayangku terang oleh sinarnya?

Mungkin saja ku harus. . . .
tapi mungkin disini akan lebih baik untuk semua
Mungkin, ku memang seharusnya jaga indahnya.
Toh aku pun sudah terbiasa
tenggelam dalam gelap dan sunyi sendiri disini

Mungkin ku lebih baik diam saja,
memandangnya dari balik jendela
Dan berharap suatu saat doa ini didengarnya
Berharap,
ia pun mendoakan hal yang sama


(Bandung, 23 Agustus 2019)

Sunday, August 25, 2019

Untitled

Dipunggungmu aku bersandar
melepaskan semua penat dan keluh kesah
menanamkan mimpi, menaruh harapan.
Di punggungmu aku bersandar
mencari kehangatan
menyelami kasih dan sayangmu.

Hanya dengan pelukan dapat kubalas semua itu
Pelukan yang kuharapkan bisa tenangkan hatimu
Dan menjadi tempat membuang semua cemasmu..

(Bandung, 25 August 2019)

Saturday, August 24, 2019

Fase Biru: Kumpulan Puisi (II)

(v)

Dalam diam hati kecilku berteriak
berharap gemanya dapat mengakhiri
kebisuan diantara kita ini

____________________________________________________________

(vi)

Mengagumimu bagai pisau bermata dua
mengakuinya bisa membunuh kita yang ada
tapi memendamnya pun menorehkan luka yang dalam di dada
Padahal bukan ku ingin memilikimu
Aku pun tak seegois itu
Ku hanya ingin kau tahu
dan mungkin juga ingin tahu
jika kau pernah merasakan hal yang sama


(Bandung, 23 Agustus 2019)

Fase Biru: Kumpulan Puisi (I)

(i)

Goresan demi goresan kutorehkan
Kata demi kata kurangkai
Detik demi detik terlalui
Tak terasa penuh sudah kertas putih ini
dengan curahan hati tak bersuara yang selama ini hanya kupendam
Suara yang ingin sekali saja kau dengarkan
dan tak pernah mengharapkan sebuah jawaban.

____________________________________________________________

(ii)

T'lah lama tak kurindukan pagi
Pagi yang kini kian mempertemukanku denganmu
Namun juga kurindu akan malam
Malam yang senantiasa membawa impian kita kan bersama disuatu masa
walau entah untuk berapa lama
walau entah dalam bentuk seperti apa

____________________________________________________________

(iii)

Dibawah remang lampu kuning ku menunggu
kehadiranmu yang tak mungkin datang
kehadiranmu yang bahkan tak pernah kau janjikan
Namun tetap disini ku menunggu
berharap adanya keajaiban bahwa kau akan datang
Atau bahkan sekedar keajaiban
kau menganggap aku ada..

____________________________________________________________

(iv)

Setumpuk pertanyaan muncuk di benakku
Mungkin akibat sikapmu terhadapku.
Salahkah aku yang terlanjur mengagumimu?
Toh, tak pernah ku berharap kau rasakan hal yang sama
Tak juga kuharapkan kau jadikanku yang teristimewa.
Yang ku inginkan hanyalah dibiarkan tenggelam menikmati rasa
Untuk intim,
dengan perasaanku sendiri
Yang kuingin, kita tetap seperti sedia kala
sebelum kau menjauh tanpa sepatah kata


(Bandung, 23 Agustus 2019)

Sunday, August 18, 2019

Spilling my heart out.

Been a while.
It's been a real while since the last time I write.
So forgive me if this is going to be boring, 'cause I assure you this writing will be quite long.

Just want to spill a little piece of my mind and heart to maybe ease myself.
Or maybe help someone, if this page even opened by anyone.
Or maybe, just maybe, it will even help myself.

So, here goes. a little confession. Though I might not seem like it, especially to those who are close to me, I am actually the most insecure person I know.

But not in a way most people feel. I genuinely and honestly don't care about what people think or say about me.
I really could care less about people's judgment, especially those who are not close to me.
And I believe those who I keep close to me, love me for the way I am. And I am highly confident about it, though may seem to be in contradiction with my previous statement.

Because eventually, what really matters to me is my own judgment.
No one, not in my almost 29 years of life, has ever set a higher standard than the one I set to myself.
I AM THE HARSHEST JUDGE OF MY SELF.

I don't like my general physical appearance.
My face is not attractive enough.
My body shape is not ideal.
Characteristically, I am not cute nor adorable,
or even slightly unique to stand out in a crowd.
I am not kind enough,
though I firmly believe in spreading kindness,
I know there's hatred inside.
I can't understand how someone could ever like me or even love me, for I myself don't feel so.

But I am also constantly reminded about the wonderful support system I have:
BESTFRIENDS,
Who accepts me for who I am.
Who understands my cold treatment and harsh words are my forms of affection.
Who sticks with me despite it all.
A LOVER,
Who loves me deeply with all his might.
Who adores me like I'm the most beautiful being in the universe.
Who believes in all my potentials even when I don't see it.
Who thinks of me as the sun of his sky.
And I do believe in every good thing they said.
I do believe in every feeling they have for me.
I really do believe that they really believe in whatever they think of me.
And I will always be eternally grateful for each of them.

But the problem never was how I feel about what people might say or think about me.
The problem was my own thinking.
I DON'T THINK I AM GOOD ENOUGH.

And it has always been a conflict in my head because, on the other hand, I am an overconfident woman.
There are things about me I'm highly proud of, things I will never let go.
And nothing people can say or do will make me change my mind.
No labels, names, assumptions or judgments from people can make me question myself.
Only I, myself, is able to do that.

I know most people will think the other way around: be happy and content with yourself, and nothing people say will make you feel bad about yourself.
Well, people can't do that to me, despite me not liking myself enough.
I sometimes think I know I am good enough for some, but still not good enough for me.

It has always been a daily struggle for me, to really accept myself.
It's a daily effort to try to see myself as my loved ones see me.
It's a hard and long battle to make me love myself.

Because I know that in the end, the view that matters the most is our own view.
The feeling that matters the most is our feelings.
The thought that impacts us the most is our own.
And happiness comes from within ourselves, not from anybody else.

So I've decided to try harder to accept myself for who I am.
To believe in the potentials I know I have.
To love myself like I have never loved anyone before.
I know it will not be easy, and only God knows how long it will take.
But I will never give up.
I would rather die trying to love being me than forever resent being born this way.
And I will hold my bestfriends tighter, my lover closer,
and remind myself that I am so loved by them.
One day, I will prove to myself that I am worthy of their love.
One day, I will prove to myself that I am worthy of self-praise.
One day, I will love myself fully without an ounce of doubt.
And I hope one day, whoever out there reading this and feels insecure about themselves, will also be able to accept ourselves for who we are.

Monday, September 23, 2013

Rasa Yang Tak Terwakilkan

Bila saja sanggup kata-kata mewakilkan arti hadirmu dalam hidupku.
Betapa kau mampu terangi lorong-lorong yang dulu gelap dalam labirin perjalananku
Betapa dengan mudah kini gunung kudaki, mengetahui kau sedang setia menanti

Bila saja megah semesta dapat mewakilkan arti hadirmu dalam hidupku.
Untuk menggambarkan betapa jernihnya kini langit yang selimuti bumiku dengan adanya kamu
Untuk melukiskan pelangi dan ribuan bintang penghias latarku,
mewakilkan tiap doa dan harapan yang kupanjatkan untukmu

Bila saja waktu dapat berjalan lebih lambat ketika kita sedang bersama memadu cinta.
Hingga mampu kusejukkan siangmu
Dan mampu kuhangatkan malammu selalu
Mampu kutunjukkan dalam tiap detik,
betapa kau berharga untukku..

Bila saja kau tahu
dna bila saja ku mampu.
Buatmu benar-benar mengerti, seperti apa rasa di dalam hatiku ini..


(Bandung, 09 Agustus 2013)

Thursday, May 30, 2013

Doa Dalam Hujan

Surya telah terbenam di balik megah Borobudur.
Perlahan rintik hujan jatuh beraturan membasahi pelataran
membanjiri altar megah yang telah lama dipersiapkan untuk pemanjatan doa.
Namun para umat tetap khusyuk beribadah
menyampaikan ribuan cerita dan harapan kepada sang hyang Buddha.

Puluhan ribu pengunjung tak sabar menanti,
menanti api harapan di terbangkan bersamaan, yang akan menerangi langit malam itu.
Banyak dari mereka yang akhirnya mengutuk hujan,
mengutuk penyebab gagalnya perayaan pelepas api harapan.
Tapi sepasang insan tetap setia menanti, duduk merenung di bawah hujan
Bergandengan tangan, menikmati malam
Mereka memanjatkan doa, menyampaikan kisah mereka pada Yang Kuasa.
Berharap didengar, berharap terkabulkan doanya

Si perempuan menoleh ke pasangannya,
yang memegangnya erat menjaganya dari dingin angin malam
Si perempuan lalu berkata, "Mereka bilang malam ini tak akan ada api harapan yang akan terbang menyampaikan doa, tak ada cahaya lampion yang hiasi gelap langit. Tapi untukku, malam ini telah begitu cerah karena hadirmu disini, menemani. Tak inginkah kau tahu isi doaku?"
Si lelaki lalu menatap lekat wajah perempuan yang dikasihinya itu
ia tersenyum kecil melihatnya,
wanita bertubuh mungil yang gemetaran akibat bermandikan air hujan.
Ia berkata kepadanya, "Tak perlu kau katakan. Aku hanya berharap doaku di Malam Natal yang lalu sama seperti harapan yang kau panjatkan malam ini. Dan aku berharap, aku masih menggenggam tanganmu di Malam Natal berikutnya, dan mungkin tetap berdampingan dibawah hujan di Waisak berikutnya"

Mereka lalu berdekapan. Saling menghangatkan di tengah ramai lalu lalang pengunjung yang kecewa.
Namun damai memenuhi hati mereka, dan kasih senantiasa menyinari malam gelap Waisak di Borobudur.
Sambil masih bergandengan tangan, mereka pun turuni candi
meyakini dalam hati, tak peduli meski mereka berdua beribadah dengan cara berbeda dan tak mengagungkan nama Tuhan yang sama,
mereka telah ditakdirkan untuk berdoa berdampingan,
saling menemani,
dan tetap larut dalam satu cinta..


(Jogja, 26 Mei 2013)

Purnama Jogja

Kali ini jarak memang cukup jauh memisahkan
Kali ini sesekali sepi menghampiri meski banyak kawan menemani.
Sepi, karena dirimu tak disisi untuk berbagi tawa
Sepi, karena tak ada genggaman tanganmu yang senantiasa melindungi
Sepi, karena semilir angin pun diam-diam menghantar rindu darimu..
Tapi langit malam ini adalah penawarnya
penawar atas semua sepi
penawar dari rindu di hati.
Langit, yang dengan angkuhnya memamerkan anggun purnama
Langit malam yang cerah sempurna, membiarkan bintang berkelipan iringi silau rembulan.

Dan cukup untukku saat ini,
untuk mengetahui kita masih tetap menikmati purnama yang sama.
Purnama yang menenangkan hati,
ditengah riuh gerombolan turis yang menyambangi alun-alun Jogja malam ini..
Cukup untukku malam ini,
mengetahui kita masih saling merindu saat jarak memisahkan.
Dan tak bosan kupandangi sempurna purnama Jogja malam ini,
purnama yang sesekali memantulkan bayang wajahmu...

(Alun-alun Kidul Jogja, 24 Mei 2013)

Tuesday, May 21, 2013

Penantian Di Simpang Dago

Dipinggir jalan itu ku duduk menunggu
Di jalan, di persimpangan Dago.
Menunggu kemunculan lelaki berjenggot tipis, yang akan datang memenuhi janji.
Kupasang mataku ke setiap sudut jalan,
tak sabar menunggu kemunculannya.
Si lelaki berjenggot tipis dengan kemeja bututnya.
Hujan mengiringi penantianku senja ini,
menyembunyikan sinar malu-malu matahari yang beranjak pergi.

Langit mulai gelap,
namun di salah satu sudut jalan itu semua terlihat begitu terang.
Di sudut jalan itu di persimpangan Dago,
si lelaki berjenggot tipis itu muncul...
muncul menepati janjinya.


(Dago, 18 Desember 2012)

Friday, May 17, 2013

Yang Tak Bernama


Kita memang sepasang kekasih.
Tapi kita tidak 'pacaran', seperti banyak tebakan orang. Kita menolak untuk dibilang 'pacaran'  sebuah status yang dibuat masyarakat untuk sepasang insan manusia yang saling menyayangi dan memutuskan untuk saling berbagi.
Memang, nyatanya kita sedang saling berbagi...berbagi sedikit demi sedikit waktu yang ada di hidup kita, berbagi kisah dan menjalin cerita bersama, berjalan berdampingan, walau dalam jalur yang berbeda.
Ya, kita memang sepasang kekasih..

Kenapa kita begitu keras menolak dikatakan 'pacaran'?
Kamu dengan alasanmu, aku dengan alasanku.
Aku yang ingin belajar memberi, tanpa sedikitpun meminta.
Bahkan, tanpa sedikitpun berharap.
Aku yang sedang mempelajari, apa sesungguhnya 'cinta tanpa karena''Pacar' ku atau bukan, ketika aku mencintamu, aku tak butuh alasan.. dan aku tak butuh alasan juga untuk tetap mencintamu dan mencurahkan segala kasih sayang ini.
Aku tak butuh alasan. Dan tak ingin pula alasan itu muncul tanpa disengaja.
Karena menurut pengalamanku yang 'berpacaran' bertahun-tahun sebelum kita bersama, status 'pacar' itu justru memunculkan terlalu banyak alasan untuk memberi, dan mengharapkan timbal-balik.
Aku tak mau seperti itu (lagi)..
Aku mau tulus menyayangimu, tak peduli status kita, bahkan aku akan tetap menyayangimu meski kamu anggap aku tak ada.

Dan kamu tak ingin terikat. Sama seperti aku yang tak mau diikat.
Kita tak ingin diatur bagaimana cara kita saling menyayangi.
Ada yang bilang kita ini takut komitmen.. tapi mereka tidak tahu, kita pun saat ini masing-masing sedang menjalani sebuah komitmen.
Kamu dengan komitmenmu dengan rasamu,
dan aku dengan komitmenku dengan rasaku..
Kita akhirnya saling mengikat dengan satu yang begitu kita senangi, kebebasan.

Aku bebas menyayangimu dengan caraku.
Kamu pun bebas menyayangiku dengan caramu.
Berjalan ke arah yang sama, akhirnya kita sepakat untuk berjalan berdampingan, meski kita tetap berada di jalur yang berbeda.
Dan meski kita tak tahu dimana persimpangan yang akan memisahkan kita..

Kita memang sepasang kekasih. Kita adalah life partner. Pasangan hidup. Karena saat ini, detik ini di hidupku, kamu menemaniku. Dan saat ini, detik ini, aku pun mengisi hidupmu.
Tapi kita tidak 'pacaran'. Kita menolak disebut 'pacaran'.

Lalu apa namanya hubungan ini?
Ah, menurutku manusia belum sanggup berikan hubungan ini nama...apa perlunya pula sebuah nama?
Toh kita menikmati menjalaninya.
Toh kita tetap saling mencinta.
Dan toh, kesepakatan itu tetap kekal detik ini...

(Bandung, 17 Mei 2013)

Friday, May 3, 2013

Noda Samar Dalam Cahayaku

Hitam di langit pagiku tak perlu kau tahu sebabnya.
Malah, ku usahakan agar kau tak perlu melihatnya sama sekali..
kau tak perlu tahu ia bahkan ada.
Cukup kau lihat, indah sinar mentariku.

Bukan ku tak mau berbagi warnaku padamu, bukan ku tak percaya kau akan mengerti.
Aku hanya ingin kau tak ingkari hangatnya mentari pagi
Aku hanya ingin kau selalu dapat nikmati indah biru langitku
Indah dan tentramnya duniaku, yang mungkin akan hapuskan gelap duniamu.

Jadi tak perlu kau tahu, noda yang mengotori cantiknya alamku.
Karena tugasku, inginku, butuhku, adalah untuk indahkan duniamu selalu
bahkan ketika tak ada setitikpun warna tersisa didalamnya...

(Bandung, 1 May 2013)

Manusia dan Pikirannya

Aku ini manusia
manusia berakal sehat dan memiliki pikiran.
Pikiran yang bebas, yang berlayar tanpa batas, sesukanya.
Aku ini bebas.
Kalau aku tak bebas, kenapa akal ini kumiliki untuk jalani hidup?
Kalau nyatanya aku terikat pada sebuah pasak, kenapa aku harus belajar berjalan?
Hanya untuk mencapai tujuan tertentu yang makhluk lain inginkan untukku?
Sampah.
Kalau begitu aku ini seperti sampah. Diletakkan disana-sini untuk akhirnya berakhir di pembuangan yang orang tuju.
Hanya bisa diam, tak bisa menolak.
Jika memang begitu, kenapa aku tidak usah diberi kehidupan saja sekalian?
Hidup tapi penuh harapan palsu,
diarahkan sesuka yang makhluk itu mau.
Tapi aku tak sebodoh itu..
Kan sudah kubilang, aku ini manusia?
Manusia yang berakal pikiran nan bebas.
Coba saja kalau kau mau mengikatku,
aku pun mau tahu,
seberapa lama rantai dambaanmu itu mampu menahanku.

(Bandung, 01 May 2013)

Karena Kekekalan Hanya Milik Detik Ini

Semakin hari, semakin banyak yang saya alami, semakin banyak yang saya pelajari, saya mulai memahami betapa di dunia ini tiada yang pasti. Mungkin beberapa penganut agama atau kepercayaan apapun yang kuat akan membantahnya, dan mengatakan bahwa beberapa hal telah dengan pasti tertulis oleh Tuhan dalam suratan hidup manusia, dan pasti terjadi. Disini saya tidak akan menyalahkan pendapat orang lain dan membenarkan pendapat saya, saya hanya ingin mengatakan, tidak demikian yang saya percayai...

Hari demi hari, saya sedikit demi sedikit belajar untuk semakin menghargai waktu. Saya belajar untuk menjalani hidup saya sebaik mungkin, seakan tidak ada esok hari. Bukan berarti saya lalu boleh sesuka hati melakukan yang saya mau tanpa memperdulikan orang - orang di sekitar saya terutama orang - orang yang saya sayangi, tapi justru saya harus belajar lebih menghargai mereka, menyayangi mereka segenap hati, menjaga mereka, dan selalu berusaha membagi kasih sayang saya agar mereka tahu betapa mereka sangat disayangi. Karena belum tentu ada esok hari, yang akan mempersilahkan saya melakukan apa yang belum sempat atau belum mau saya lakukan hari ini.

Tak ada jaminan akan esok hari tiba untuk saya, atau orang - orang yang saya sayangi. Tak ada jaminan pula rasa sayang saya untuk mereka ini masih bersisa esok nanti. Jadi sebelum waktu mengkhianati, sebelum rasa hilang tak berbekas di hati, saya ingin mencurahkan segalanya saat ini, detik ini. Detik yang kusebut kekal ini. Ini mungkin keegoisan terbesar saya..

Begitu banyak hal yang sangat indah yang terjadi setiap harinya di dalam hidup saya. Kecil, besar, bukan sesuatu yang penting. Bila itu indah, ya tetap indah. Memang, terkadang saking indahnya, saya seakan tidak mau melepaskan hal tersebut.. saya ingin terus mengalaminya, menjalaninya, hanyut di dalamnya. Lalu saya teringat, hanyut dalam kenangan? Berarti saya tak punya pegangan? Bagaimana kalau nanti saya lelah terapung-apung dalam kenangan yang telah lalu, kemana saya harus menyelamatkan diri? Saya pun masih sering menyadarkan diri, berteriak dalam kepala yang semrawut ini, "Hey, jangan larut pada apa yang pasti lalu! Bahkan yang saat ini merupakan yang terindah, belum tentu akan selamanya menjadi yang paling. Akan ada satu titik dimana mau tak mau predikat itu harus kau lepas! Yah, kecuali kau mati di detik berikutnya.."

Ya, yang saat ini adalah yang 'ter-' belum tentu akan menjadi yang 'ter-' lagi di hari berikutnya, jam berikutnya, bahkan mungkin detik berikutnya. Kenangan, memang abadi, disaat ia sedang terjadi, di detik yang kusebut kekal ini. Tapi... detik berikutnya akan tiba. Menit pun berlalu. Dan kenangan akan menjadi kenangan.

Dari berbagai hal yang saya ocehkan sesuka hati diatas, saya hanya berusaha mengambil kesimpulan, lakukan apa yang kamu mau dan bisa lakukan hari ini, saat ini, jangan sampai menyesal di keesokan hari yang bahkan belum tentu datang. Dan tiap kenangan, tiap kejadian, baik indah maupun buruknya, nikmatilah. Karena tanpa ada yang buruk itu, kita tak akan tahu rasanya indah. Dan tanpa ada yang indah, kita tak akan tahu ada cahaya di setiap ujung lorong. Hargai tiap moment, karena mereka hanya kekal ketika terjadinya. Hargai yang telah menjadi kenangan, karena mereka telah menuntun kita untuk berada di tempat kita sekarang...